3M : Malang, Mall, dan Macet
Soal Mall dulu ya
Malang sebentar lagi akan punya dua mall baru. Yang satu di Dinoyo dan satunya lagi di Blimbing. Uniknya dua mall baru itu dibangun di bekas pasar tradisional.
Pembangunan dua mall baru ini rupanya mendapat tanggapan beragam. Ada yang pro dan ada yang kontra.
Kemaren di sebuah akun @MLGRumahKita menanyakan pada followers-nya (saya termasuk) apakah setuju dengan adanya penambahan mall. Sebagian besar yang mention yang di retweet, menjawab tidak setuju. Bahkan kebanyakan menambahkan lebih baik dibangun ruang hijau, menambahkan pasar tradisional, dan mengurangi pembangunan ruko.
Saya pribadi sebenernya pengen nimbrung dan bilang gak setuju juga. Tapi kemudian saya ingat kasusnya Matos dan MOG. Dulu pas masih kuliah di Poltek, saya sangat menolak pembangunan dua mall paling gedhe di kota Malang itu. Walau gak sempat ikut demo-nya sih.
Bahkan sampai tahun 2007 saya tidak mau menginjakkan kaki di mall-mall itu. Hingga kemudian gara-gara film Transformers, akhirnya saya menghancurkan idealisme sendiri. (“._.)/|dinding Matos|
Dan kini, saya malah langganan ke MOG dan Matos…… Aku kotooooor mamaaaaaaah.
Ini ibarat menjilat ludah sendiri.
Sekarang, semuanya kembali pada kita. Kalau semisal Mall Dinoyo dan Blimbing jadi dibangun, berani gak kita konsisten dengan omongan kita? Ya kalau gak setuju ntar jangan kesana! Bisa gak?
Soalnya banyak banget dari kita yang awalnya nolak-nolak pembangunan, ujung-ujungny jadi pengunjung setia. Saya contohnya (_ _”). Ini kalau dalam dunia asmara, ibarat pasangan yang benci tapi rindu. Di bibir ngomong nggak, tapi di hati ngarep banget. Kok jadi curcol?
True Story, ada loh eks aktivis UB angkatan 2000an awal yang sampai saat ini bener-bener gak mau ke MOG dan Matos karena megang omongannya sendiri. Nah looo…. Kalau memang menolak harus kaya gini sikapnya.
Sekarang Soal Macet
Lebaran lalu, temen SMP saya yang sudah lama merantau di Jakarta shock pas liat Malang. Pasalnya dia saat di pesawat menuju Malang, sudah membayangkan suasana Malang yang tenang dan dingin.
“Kampret, ini masih di Jakarta? Macet amat”. Ujar status FBnya saat di angkot.
Saya ingat betul tahun 2005 Malang masih lenggang banget jalannya. Namun begitu memasuki 2007, tampaklah gejala kemacetan yang parah apalagi pas hari libur atau akhir pekan.
Bisa jadi salah satu faktor kemacetan Malang adalah karena Kota Batu. Kota Batu punya Jatim Park 1 dan 2 serta BNS. Belum lagi tempat wisata klasik seperti Selekta atau Cangar. Sementara untuk ke sana jalan yang paling bagus adalah lewat Kota Malang. Alhasil volume kendaraan dari kota-kota sekitar Malang yang masuk pun meningkat tajam. Hasilnya…..Macet.
Faktor lainnya adalah jumlah motor dan mobil yang buaanyaaak tapi jalannya sempit. Kondisi ini diperparah dengan PKL yang menjamur di sana-sini. Ibarat manusia, Malang ini sedang terkena penyakit darah tinggi dan kolesterol. Bentar lagi stroke tuh.
Mengeluh dan menuntut pemkot untuk menanggulangi ini semua tidaklah terlalu efektif. Iya kalau mereka denger, kalau enggak mungkin kita sendiri yang dongkol.
Jadi mari kita coba ambil langkah kecil dari diri kita dulu. Langkah kecil mungkin gak bakal terasa dampaknya. Tapi itu masih mending daripada diam dan gak berbuat apa-apa tapi nuntut melulu.
Dari mobil dulu ini ya. Saya sendiri termasuk orang yang agak heran dengan sebagian pengguna mobil di Malang (ingat: sebagian). Udah tahu jalan sempit, naik mobil sendirian dan mobilnya segedhe kapalnya Gaban pula.
Alp*ard adalah salah satu jenis mobil yang bikin emosi kalau jalan di Malang. Ini mobil kaya lapangan badminton di kelurahan, gedhe banget. Mobil kaya giuni sering makan jalan. Bukankah esensi mobil itu memindahkan manusia dan barang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan efektif dan efisien. Bukan sambil main futsal. Saya yakin tuh kalau pas di dalam tuh mobil kita teriak bakalan bergema…. ma….. ma…..ma…..ma….. (bit : Pandji)
Pengguna mobil gedhe kaya Alp*ard dan sejenisnya, tolonglah lihat sikon! Kalau memang arus lalinnya lagi padet pakai kek mobil yang lain (kalau punya). Atau kalau nggak pakai motor atau angkot kek. Namun kalau misalnya lagi butuh banget, ya paling nggak tuh mobil berdayakan untuk ngangkut beberapa orang (serah deh siapa). Biar kalau pas macet gak pengen nimpuk he he he… Peace bro!
Sekarang beralih ke pengguna motor. Kali ini saya bakal nyindir diri saya sendiri juga kok.
Dulu, kalau pergi ke suatu tempat yang jaraknya 300meter kebanyakan orang akan memilih jalan kaki. Atau minimal naik sepeda kayuh. Sekarang…. jarak 100 meter, kita sudah tancap gas.
Okelah kalau di dalam kampung perilaku kaya begini gak terlalu bermasalah. Nah kalau pas yang dilewati jalan gedhe, ini yang bikin mengelus dada.
Melewati jalan besar demi menempuh sebuah jarak 100 meter, tanpa disadari akan sangat mengganggu arus lalin. Apalagi kalau pakai nyebrang jalan, pas padet pula. Apa sih yang salah dengan “Jalan Kaki”?
Jadi biasakan mulai sekarang pakai kaki kalau ke tempat-tempat yang dekat dan mudah di jangkau. Bantu kurangi volume kendaraan di jalan!
Selanjutnya soal SIM nih. Salah satu sarat mutlak kita boleh mengendarai motor adalah mempunyai SIM C. Jadi kalau belum punya segeralah mengurus atau dengan kesadaran diri : jangan nyetir motor.
Salah satu syarat memiliki SIM C adalah berusia minimal 17 tahun sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009. Itu artinya anak sekolah yang boleh mengendarai motor adalah mereka yang kemungkinan duduk di kelas 2 SMA. Tapiiiii…… di smp-smp kok banyak banget ya motor yang parkir. Nah looooh…… Motor siapa ini?
Dan kalau tiga hal di atas tidak memungkinkan sama sekali bagi kita untuk dilakukan, ya sudah. Nikmati saja kemacetan itu. Toh kita juga bagian dari kemacetan itu sendiri kan. Yang pakai mobil juga kita, yang pakai motor juga kita, masa kita minta cuma kita satu-satunya orang yang boleh pakai mobil/motor.
Pahlawan dan Kita
“Alhamdulillah, saya tunggu-tunggu mas,” ujar Pak Zuri. Dia tampak senang dengan kedatangan saya di rumah kecilnya.
“Maklum mas, mau saya buat beli Iqro’ untuk anak-anak TPQ. Lah mereka pada gak mampu beli sendiri,” imbuhnya.
Pak Zuri adalah seorang guru ngaji di wilayah Tumpang yang ikut program Insentif Bulanan Guru Quran (Ibuqu) yang diadakan oleh kantor saya, NH Malang. Tiap bulannya program ini memberikan uang sebesar Rp. 100.000,- pada para guru ngaji di Malang Raya seperti Pak Zuri. Hingga saat ini sudah sekitar 250 orang yang bergabung dalam Ibuqu.
“Santrinya Pak Zuri sekarang berapa pak,” tanyaku.
“Sekitar 100 anak mas”
“Semuanya bapak yang handle?”
“Iya mas, mau siapa lagi?”
“Wah, gak capek tuh pak? Kenapa tidak cari ustadz lain untuk bantu Pak Zuri,”
“Kalau cari orang lain saya mau bayar pakai apa mas? Wong anak-anak itu mengaji disini juga saya gratiskan, gak pake iuran. Ya, kalau mau ada yang bantu ngajar disini sih gak apa-apa, tapi syaratnya lillahita’ala,” jelas Pak Zuri.
Terus terang saya dibuat garuk-garuk kepala. Masih saja ada orang yang mau berbuat kebaikan untuk orang lain tanpa minta imbalan. Insentif dari NH saja seringkali dia gunakan untuk memenuhi kebutuhan belajar mengajar santrinya. Bukan untuk beli beras atau kebutuhan pribadinya.
Pak Zuri adalah salah satu contoh dari sekian banyak orang yang perannya besar di masyarakat namun sering terabaikan. Statusnya sebagai guru ngaji mungkin sangat remeh bagi kita. Tapi sesungguhnya orang-orang seperti Pak Zuri ini layak disebut pahlawan. Mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendekatan agama. Dan point terpentingnya, semua itu dilakukan tanpa pamrih. Tanpa mengharapkan imbalan berupa materi. Walaupun kondisi ekonomi pria asli Tumpang ini tidak bisa dikatakan cukup.
Pahlawan, apa itu arti pahlawan? Diambil dari bahasa Sansekerta, phala-wan, yang berarti orang yang dari dirinya menghasilkan buah (phala) yang berkualitas bagi bangsa, negara, dan agama. Dengan kata lain pahlawan bukan hanya mereka yang gugur di medan perang saat penjajahan saja. Tapi pahlawan adalah siapapun yang mau berbuat sesuatu untuk membangun bangsa.
Lalu bagaimana kalu kita berbuat. Berbuat sesuatu yang bisa merubah keadaan lebih baik. Bahasa maduranya, Let’s change the world. Dan ketika itu disampaikan maka kebanyakan jawaban kita adalah, “serius amat yaaaahhh”.
“Ciyus, miapah?”
“Ngrubah dunia? Ngerubah diri sendiri aja susah kalee”
“Saya cuma rakyat kecil”
“Saya cuma mahsiswa”
“Saya cuma pegawai biasa”
“Saya cuma ini, Saya cuma itu…..”
Itulah beberapa contoh jawaban kita untuk lari dari tanggung jawab. Kalau kata Nasional.Is.Me karangannya Pandji, kita terlalu sering merendahkan diri kita dengan kata cuma, susah, gak mungkin dan sejuta kalimat pesimis lainnya.
Sejarah mengajarkan pada kita bahwa “gak mungkin” kita menang lawan sekutu yang saat itu persenjatannya super canggih. Dan, ternyata kita bisa mempecundangi mereka tuh. Atau pikir lagi deh, apa mungkin 1128 suku bangsa bisa membentuk suatu negara kesatuan. Buktinya bisa tuh, Indonesia.
Siapapun dan apapun profesi kita, kita punya kesempatan yang sama untuk menjadi pahlawan. Pak Zuri orang dengan penghasilan minim saja bisa punya kontribusi besar untuk lingkungannya, kenapa kita tidak? Bayangkan kalau anda dosen, penghasilan anda mungkin sepuluh kali lipat penghasilan Pak Zuri. Belum lagi sumber daya di kampus itu melimpah ruah, baik dana maupun sumber daya inteleqtualnya. Apa itu masih kurang untuk memberikan sesuatu perubahan?
Pun sama dengan anda yang pegawai kantoran. Gaji anda tiap bulan dan akses anda dengan klien kantor, saya kira sudah bisa jadi modal yang cukup kuat untuk menghasilkan karya yang bisa dinikmati masyarakat.
Bahan kalau anda hanya mahasiswa sekalipun, tetap saja modal anda merubah kondisi lingkungan sosial tetap terbuka lebar. Jangan remehkan you punya otak dan tenaga hei mahasiswa.
Setiap orang dilahirkan untuk menjadi pahlawan. Sekarang pilihan ada pada kita. Apakah kita mau menggunakan potensi itu atau justru menyerah pada keadaan, lalu membuangnya begitu saja.
There’s a hero,
If you look inside your heart,
You don’t have to be afraid of what you are,
There’s an answer,
If you reach into your soul,
And the sorrow that you know will melt away.
(Hero – Mariah Carey)
Selamat Hari Pahlawan, Kawan!
Penakluk Calon Mertua Sejak Jaman Kompeni
Salah satu hal yang selalu diingat orang saat mau ketemu calon mertua adalah “Martabak”. Saya sendiri heran kenapa harus Martabak. Apa karena bentuknya kotak kaya muka bapak-bapak yang galau karena anaknya belum laku? Entahlah.
Pun demikian Martabak ini konon adalah makanan paling ampuh untuk meluluhkan hati mertua. Bahkan sejak jaman kompeni, dimana jaman itu Si Pitung masih doyan futsal (halah). Coba liat deh, begitu martabak berpindah tangan maka izin jalan dengan pacar pun di acc. Ibarat kata sinetron, ini judulnya Putri yang ditukar…….. dengan Martabak. Tega……tegaaaaaaahnya kau papaaaah.
Namun perlu diingat sodarah-sodarah, gak selamanya Martabak bisa jadi senjata yang ampuh untuk meluluhkan hati mertua. Apalagi kalau mertuanya juga juragan martabak. Trus kita ngasihnya martabak buatan kompetitornya. Wah bisa dilempar codet kepala kita. Mending cari alternatif lain deh! Martabak Itali (Pizza) atau Maicih level 10 juga boleh dicoba.
Ingatlah kata para pendiri bangsa, harkat dan martabak harus tetap dijaga…… Nngggg….. Itu martabat ya? Ya terserahlah. Tapi jangan kaget kalau suatu saat nanti akan ada outlet “Jajanan Penakluk Calon Mertua”. Karena itu saya yang punya. Itu sebagai bentuk kepedulian saya bagi yang kesusahan dapat restu dari Camer.
Btw….. Kamu wanita cantik yang lagi baca, Boleh gak aku bawain martabak untuk bapak kamu….. :p
Anda Jomblo…. Lakukanlah Hal Ini saat Valentine’s Day!!!
1. Doa
Orang jomblo itu masuk alam golongan teraniaya. Dan doa orang teraniayah itu diijabah. Saya yakin anda yang jomblo (kayak saya nggak jomblo aja) pasti ngenes karena sering mendapat hinaan dan cacian dari para kaum yang tidak mau bertoleransi dalam ber-asmara. Mau tahu siapa contohnya? Tuh yang suka pajang prof pic berduaan sama pacarnya. Walaupun kalau si pelaku adalah cewek, biasanya cowok di fotonya lebih tampak sebagai budak daripada pacarnya. Atau orang-orang yang sering sok unyu pas ngetwit dengan pacarnya….hueeeeeeeek *dengki tingkat kecamatan*.
Nah orang model begini lah yang butuh DOA kita. Seperti apa doanya? Simple saja. Doakan pas tanggal 14 Februari ntar hujan deres, banyak ulangan, deadline kerjaannya numpuk, atau bisulan di pantat. Pokoknya doa aja biar kaum yang gak punya toleransi berasmara itu apes pas hari laknat, 14 Februari.
2. Sabotase
Pasti ada dong temen kumpulan anda yang suka pamer kemesraan dengan pacarnya. Kurang ajarnya, tuh orang pamernya di depan kita-kita yang sedang melajang ini. Orang model begini gak usah dikasihani cuy. Kasih pelajaran…!!!! Salah satunya adalah dengan men-sabotase hari Valentine si Kampret ini.
Sebagai contoh berpura-puralah anda jadi agen pensuplai coklat khusus Valentine. Nah sebisa mungkin tawarkan produk dagangan anda ke temen yang rese tadi. Namun jangan lupa. Kalo deal, maka jangan sampai yang anda jual itu adalah coklat beneran. Ganti dengan Broklak!!! Mencret….mencret…dah.
NB : broklak itu obat pencuci perut yang mirip coklat.
3. Mengalihkan Perhatian
Coba deh ente perhatiin. Orang pacaran itu sebenernya masing-masing mereka tersiksa kok. Kebanyakan sih mereka menjalin hubungan bukan untuk saling mengasihi. Tapi hanya untuk sekedar prestis. Dan yang lebih parah, malah ada yang pacaran hanya demi ‘status hubungan’ di facebook supaya tercantum ‘sedang berpacaran dengan………’.
Model hubungan semu seperti ini sebenernya mudah dihancurkan kok he he he he. Tinggal alihkan saja perhatian dari cewek atau cowoknya. Cukup pilih salah satu saja. Contoh kasusnya kalau yang ingin kita alihkan perhatiannya adalah si cowoknya, cukup iming-imingi dengan tawaran nonton bareng tim bola kesayangan. Ato ajak aja maen PS3, futsal, atau kegiatan yang kesannya lebih penting dari cewek mereka. Hmpf….
Kalau yang ente alihkan perhatiannya adalah sang cewek, cukup dengan ngasih brosur diskon baju di mall, distro, atawa butik. Mudah kan?
4. Berbohonglah Untuk Sementara
Ini adalah cara terakhir. Namun perlu saya ingatkan bahwa ini adalah cara paling hina diantara semua cara. Karena dengan cara ini kita terpaksa mengingkari takdir yang ada pada diri kita sebagai seorang jomblo. Dan cara itu adalah berbohong. So..so..so..ri men… merinding ane jadinya.
Pas tanggal 14 Februari dan kemudian kita mulai terdesak dengan pertanyaan-pertanyaan model, “eh paca lo mana bro?” atau “eh beli coklat… mau dikasih ke siapa coba?”. Nyebelin khan pertanyaan model begitu? Bangeeeeeeet. Maka berbohonglah… Katakan, “Ini hari kasah sayang, walau saya gak ngerayaain karena alsan prinsip, tapi Alhamdullah yahh saya tetap mencintai pacar saya. Dia baik, cantik, perhatian…….namanya Bambang,” *hening…….*
Lagu Andai Aku Jadi Gayus Tambunan (Sebuah Tamparan Bagi Penegak Hukum)
Kasus Gayus memang benar-benar membuat banyak pihak jengah. Bagaimana tidak, penegak hukum kita seolah dipecundangi oleh terdakwa kasus penggelapan pajak ini. Dengan uang yang dimilikinya, Gayus dapat dengan bebas nonton tenis di Bali atau plesiran sampai ke luar negeri. Padahal statusnya adalah sebagai tahanan. Caranya tentu saja dengan menyuap pihak-pihak terkait.
Fenomena gayus dan ilmu SUAP yang dimilikinya ini, menggelitik seorang seniman bernama Bona untuk membuat lagu sentilan. Berangkat dari pengalamannya sebagai seorang napi, dia berusaha menyampaikan betapa tidak adilnya perlakuan hukum di negeri ini bagi si kaya dan si miskin.
Lagu ini sangat menarik karena iramanya yang dibuat easy listening dan mengikuti tren masa kini. Terlebih lagi suara Bang bone menurut saya mirip dengan suara vokalis ST12 atau D’Bagindaz he he he.
Tertarik untuk menyanyikannya, monggo kerso masdab ini klip dan liriknya :
Andai Aku Jadi Gayus Tambunan
Sebelas Maret
Diriku masuk penjara
Awalku menjalani
Proses masa tahanan
Hidup di penjara
Sangat berat kurasakan
Badanku kurus
Karena beban pikiran
Kita orang yang lemah
Tak punya daya apa-apa
Tak bisa berbuat banyak
Seperti para koruptor
Andai ku Gayus Tambunan
Yang bisa pergi ke bali
Semua keinginannya
Pasti bisa terpenuhi
Lucunya di negeri ini
Hukuman bisa dibeli
Kita orang yang lemah
Pasrah akan keadaan
Tujuh Oktober
Ku bebas dari penjara
Menghirup udara segar
Lepaskan penderitaan
Wahai Saudara
Dan para sahabatku
Lakukan yang terbaik
Jangan Engkau salah arah
Andai ku Gayus Tambunan
Yang bisa pergi ke bali
Semua keinginannya
Pasti bisa terpenuhi
Lucunya di negeri ini
Hukuman bisa dibeli
Kita orang yang lemah
Pasrah akan keadaan
Biarlah semua menjadi kenangan
Kenangan pahit
Dalam hidup ini
Andai ku Gayus Tambunan
Yang bisa pergi ke bali
Semua keinginannya
Pasti bisa terpenuhi
Lucunya di negeri ini
Hukuman bisa dibeli
Kita orang yang lemah
Pasrah akan keadaan
DILEMATIKA BUKBER MASA KINI
Tahu Bukber kan…? Yang jelas beda jauh dengan Puber. Dan semakin gak nyambung kalo anda mengaitkannya dengan penyanyi remaja yang sedang tenar, Justin Bukber (Bieber kaleeee). Bukber yang saya maksud disini adalah singkatan dari Buka Bersama. Sebuah acara yang tampaknya sudah menjadi tradisi saat bulan puasa tiba.
Entah sejak kapan tradisi ini mulai muncul. Namun Bukber telah menjadi kebiasaan sekelompok masyarakat dari berbagai macam profesi. Mulai dari teman sekolah, rekan seprofesi, teman satu pengajian, teman satu organisasi, dll. Kalangan pejabat pun telah menjadikan Buka Bersama sebagai sarana untuk merangkul dan mendinginkan suhu politik yang biasanya memanas. Bahkan Presiden Obama (preesidennya Amrik) mengadakan pula Buka Bersama dengan perwakilan kaum muslim sambil menyatakan dukungannya untuk mendirikan Masjid di Ground Zero.
Buka Bersama memang memiliki sebuah nilai yang positif dan luar biasa saat dilakukan dengan cerdas dan baik. Bukber dapat menjadi ajang silaturahmi bagi orang-orang yang sebelumnya sangat sulit bertemu. Buka bersama juga bisa menjadi pelepas ketegangan dari rutinitas pekerjaan atau sekolah yang kadang menjemukan.
Namun tak selamanya buka bersama bernilai positif. Akhir-akhir ini saya malah melihat bahwa Buka Bersama tidak lagi menjadi ajang yang menyejukkan. Banyak alasan kenapa saya bilang “tak lagi menyejukkan”. Entah itu ditinjau dari sisi tempat pelaksanaan, dari banyaknya uang yang dikeluarkan, dan tentu saja konsep acara yang terkadang jadi ajang adu prestis sebagian orang.
Dari sisi tempat selalu saja tempat-tempat “wah” yang dipilih. Entah itu Café, restoran mahal, ato restoran cepat saji. Dan tentu saja saja pilihan lokasi akan berimbas cukup berat pada ongkos. Bagi orang yang mampu dan punya penghasilan gedhe, okelah hal itu tidak akan jadi masalah. Tapi bagi seorang yang berpengasilan kecil atau bahkan Jobless ini bisa jadi kiamat Sughro. Ibarat memakan buah simalakama tak ikut khawatir dianggap sombong dan akhirnya dikucilkan, kalo ikut mungkin jatah Buka kali itu digabung dengan jatah sahur atau bahkan buka esoknya.
Dilihat dari sisi konsep, seringnya Buka Bersama pada masa kini hanya sekedar berkutat pada 3 hal. Datang, ngobrol, dan makan. Tak ada misi-misi “unik” dan “menantang”, apalagi mengingat acara ini diadakan di bulan Ramdhan. Seolah tak ada bedanya Buka Bersama dengan Makan Bersama di hari-hari biasa.
Saya teringat beberapa tahun yang lalu, atau tepatnya di tahun 2006. Puasa tahun 2006 merupakan salah satu bulan puasa paling mengesankan bagi saya. Saat itu saya masih terdaftar sebagai mahasiswa D3 Politeknik Negeri Malang.
Suatu saat kakak tingkat saya mengajak saya dan salah seorang teman saya untuk ikut Buka Bersama dengannya. Awalnya saya mengira itu adalah buka bersama seperti biasa dimana acaranya sebatas makan-makan dan kumpul-kumpul. Namun saya mulai heran ketika menuju TKP kami mengambil dua nasi bungkus sebanyak dua keresek besar penuh. Aneh karena jarang-jarang menu makan Bukber adalah nasi bungkus.
Dan keheranan saya pun menjadi-jadi saat tiba di lokasi tujuan yang ternyata adalah Panti Asuhan. Rupanya kakak tingkat saya itu, sengaja mengadakan acara Bukber ini sebagai wujud syukurnya karena sesaat lagi dia akan menghadapi Ujian Akhir.
Buka bersama itu berlangsung sederhana. Hanya dibuka sedikit sambutan dari kepala panti dan dari kakak tingkat saya. Serta tak lupa lantunan ayat suci yang dibacakan dengan indah oleh salah seorang anak panti. Namun, acara itu berubah menjadi sebuah pengalaman spirituil yang mengesankan di saat kami semua mulai menyantap Nasi Bungkus yang disuguhkan. Salah seorang anak panti yang berumur 11-12 tahun terlihat menangis tersedu-sedu. Alasannya karena baru kali ini dia makan sepotong ayam dan telur dadar yang besar dalam waktu bersamaan. Biasanya mereka hanya makan sepotong kecil ayam dengan sayur bayam. Atau malah hanya dengan tahu tempe dan sop. Dan kalau keuangan panti sedang seret tak jarang hanya nasi putih dan tempe.
Entah kenapa saya dan teman saya ikut sesegukan. Nasi bungkus Mak Cus yang sudah sering kami makan, tiba-tiba saja berasa seperti masakan mahal di resoran terkenal gara-gara peristiwa tadi. Dan itulah nasi bungkus terenak yang pernah saya rasakan hingga saat ini.
Saya salut dengan apa yang dilakukan kakak tingkat saya. Membuat sebuah momen Buka Bersama menjadi wisata spiritual yang tak terduga. Dan momen seperti inilah yang betul-betul saya rindukan.
Rekan-rekan sekalian, salah satu hikmah puasa adalah agar kita bisa merasakan dan berempati dengan apa yang dirasakan kaum dhuafa. Bila kita mampu mendapati hikmah itu, jalan untuk menjadi manusia yang bersyukur akan terbuka lebar. Dan bukankah Allah mencintai orang-orang yang bersyukur.
Tidaklah dilarang mengadakan buka puasa bersama. Namun kenapa kita tak mencoba menjadikan momen itu sebagai sarana yang justru mendekatkan kita pada Sang Pemberi Nikmat dan juga orang-orang tak mampu di sekitar kita…..
(Ditulis karena pembicaraan dengan seorang kawan baik)
Komentar Terbaru